karYa feature....

Aziz....Duka tak Hadir dalam Dirinya

Allahu akbar….Allahu akabar…..Laailaahaillallahu Allahu Akbar…..Allahu Akbar Walillah Ilaham…..

Gema takbir telah berkumandang, letusan petasan serta kembang api menghiasi dan meramaikan malam – malam terakhir di bulan ramadhan, suara bedug menjadi tanda kebahagiaan dan suka cita yang tengah dirasakan oleh seluruh umat muslim. Seperti telah diperingatkan pada malam terakhir bulan ramadhan itu bintang seperti enggan absen dan hadir lebih rajin dari biasanya, menemani para bapak dan pemuda yang sedang bergadang, bertakbir menyambut datangnya lebaran esok.

Minggu 20 September 2009 tentu masih menjadi memori hangat yang teringat jelas dimana hampir seluruh umat islam merayakan hari rayanya, yaitu hari raya i’dul fitri dihari itu telah di tetapkan sebagai tanggal 1 Syawal 1430 H.

Sementara di pagi yang cerah kini sinar mentari terang menyinari hingga ke pelosok negeri, celoteh bocah kecil yang berbahagia menyambut hari raya sedang berjingkrak dengan pakaian barunya, ibu – ibu tengah sibuk dengan kue – kue dan ketupat yang telah menjadi khas hari raya itu. Itulah yang menjadi gambaran kecil dari aktifitas pagi di sudut kota kecil di Jawa Barat kegiatan pada hari raya I’dul Fitri kali ini, dan selalu menjadi rutinitas pada tahun – tahun berikutnya bahkan telah ada di tahun – tahun sebelumnya.

Tapi ada yang beda dengan bocah yang satu ini meski pakaiannya terbilang tak layak untuk ukuran manusia namun seutas senyum dengan rona wajah yang bahagia terlihat jelas, wajah bahagia pertanda bahwa meski lebaran dibawah tenda tapi tak ada yang berbeda, masih seperti lebaran yang sebelumnya selalu menjadi hari yang dinantikannya.

Iya tahun ini ada yang berbeda dengan lebaran yang dirasakan Aziz, kini ia bertakbir menyambut hari raya hanya seorang diri tak ada kerabat dan keluarga yang mendampingi bocah ini, gempa 2 september 2009 lalu telah merenggut nyawa neneknya yang telah 8 tahun mengasuh dan mendidiknya, sejak kecil ia hanya tinggal dengan nenek yang telah tua renta itu. Saat umur dua tahun bocah yang sehari – hari berjualan pisang itu ditinggal pergi oleh ayahnya merantau mencari tambahan untuk sesuap nasi, tapi sudah empat tahun terakhir tak ada kabar dari ayahnya kiriman uang atau sepucuk surat yang biasa ia kirim untuk Aziz dan neneknya tak pernah ada lagi, pak pos yang biasa mampir tiap awal bulan pun tidak terlihat. Sementara ibunya sesaat setelah berjuang melahirkan Aziz telah dipanggil oleh sang khaliq.

Jalanan yang ramai dengan derap kaki tergesa – gesa, hilir mudik kendaraan mengarah pada satu tempat yang dituju lapangan luas dengan hamparan rumput hijau yang indah, lapangan tempat bermain bola kini berubah menjadi hamparan sejadah dengan warna dan gambar yang indah, warna – warni mukena menambah indahnya pemandangan yang terlihat. Seperti tak ingin ketinggalan Aziz berjalan setengah berlari menuju lapangan tempat diadakannya shalat ‘Ied, dengan berjingjit – jingjit sambil bersenandung ria, namun jalannya semakin dipercepat setelah dari jauh terlihat sang imam telah siap berdiri merapihkan sarung dan peci putih yang dipakainya.

Setelah mendapat tempat yang dirasa pas, bocah kecil itu menghamparkan sejadah yang gambarnya mulai usang, bersiap mengikuti shalat berjamaah yang dilakukan satu tahun sekali ini. Meski baju kokonya tak sebagus yang dipakai anak – anak seumurannya, tapi dia begitu menjaganya tampak dari garis lurus bekas setrikaan, dengan noda kuning tanda baju itu tak pernah dipakai dan selalu tersimpan rapi, baju itu adalah satu – satunya kiriman ayahnya yang tersisa yang ditemukannya dibalik puing – puing gubuk kecil tempat tinggalnya.

Imam shalat ‘Ied kali ini terlihat asing sepertinya bukan warga asli Cihideung, bocah itu tinggal di daerah tua itu, wajah imam itu tampak bersih bila dibandingkan dengan warga kampung setempat, suaranya terdengar jernih saat ia meneriakan agar jamaah shalat ‘Ied membereskan shafnya. Tenang dan menghanyutkan, membawa para mustami terhanyut dalam senandung ayat – ayat al –quran yang dibacakannya.

Seperti sebuah pribahasa, sudah jatuh tertimpa tangga itulah kesedihan bertubi – tubi yang menimpa bocah kelas 3 SD, mulai dari gempa yang menghancurkan tempat tinggalnya dan merenggut nyawa sang nenek, dan saat lebaran ini Bapak yang ia harapkan datang tak kunjung terlihat, hingga shalat usai batang hidungnya tak juga nampak sementara para jamaah sedang khusyu mendengarkan setiap untaian kata dalam khutbah yang disampaikannya, dan Aziz terus tersenyum bahagia bibirnya semakin merekah dengan senyuman setelah mendengar kabar dari tetangganya yang pulang dari kota bahwa Bapak satu – satunya yang sekian lama ia nantikan akan kembali, tetangganya itu bercerita kalau dia bertemu dengan ayahnya saat sedang berjalan – jalan dipasar. Menurut ceritanya ayahnya menjadi pedagang mainan keliling dan saat itu ia sedang mangkal di pasar, baru sekitar 3 bulan ayahnya bebas dari penjara bukan karena melakukan kesalahan tapi karena tuduhan dari majikannya tempat ia bekerja dulu, ia dituduh mencuri perhiasaan istri dari majikannya padahal bukti itu tak pernah didapatkan, konon katanya polisi tahu bahwa sebenarnya bapaknya tidak mencuri tapi majikannya itu tak mau kalah dan malu karena sudah menuduh yang tidak benar.

Matahari beranjak naik, panas mulai menyengat saat para jamaah mulai meninggalkan lapangan, sambil berputar mengelilingi shaf untuk bersalam – salaman dari barisan depan hingga barisan yang terakhir. Mata bocah itu terus memandang pada satu sudut jalan, di balik perkampungan itu terdapat jalan kecil yang biasa dilewati angkot dan motor milik warga, tak ada angkutan umum lain selain angkot yang sebenarnya mengeluarkan polusi yang tak menyehatkan, biasanya setiap jam akan ada truk besar yang mengangkut hasil perkebunan, karenanya jalanan yang aspalnya mulai terkikis itu sangat menghawatirkan, banyak bebatuan dan lubang yang membahayakan dan sering licin jika hujan telah datang. Tapi saat ini tak ada satu kedaraan pun yang lewat, padahal bocah kecil itu sangat mengharapkan kedatangan ayahnya.

Sudah satu jam sejak shalat ‘Ied selesai dilaksanakan, tapi Aziz masih termenung bahkan masih dengan posisi yang sama menatap ke ujung jalan, sejak tadi bapaknya itu tak kunjung datang, meski tampak badannya yang lusuh terkena teriknya matahari tapi senyum di wajahnya itu masih tetap ada, ceria dan bahagia selalu ditunjukan pada warga yang melaluinya. Didepannya terlihat sekumpulan anak seusianya sedang bercengkrama dan bermain – main sambil menunjukan barang baru yang dipakainya, ‘tingali urang boga baju anyar’ cetus anak yang berbadan gemuk itu, ‘abi gaduh sendal jeung jepit baru’ timpal anak perempuan itu sambil memutar – mutar badannya. Karena merasa minder Aziz menyembunyikan sandalnya yang warna – warni bukan karena modenya yang indah melainkan karena sandal itu bukan pasangannya, bajunya ia tutup dengan tangan sambil melingkari dadanya.ah...setegar apapun dia tetap bocah kecil.

Sempat para tetangga ingin mengangkat Aziz menjadi anak mereka, tapi ia selalu menolak, ia ingin hidup mandiri meski tangan – tangan kecil itu belum pantas bekerja, badannya yang kurus belum pantas mengangkut karung – karung belanjaan yang digendongnya, hingga 3 hari setelah lebaran Bapaknya tak kunjung datang, tapi bocah itu tak lelah menanati dan berharap tanpa bosan – bosannya berdo’a, meski kesusahan dan kesedihan kerap menghampirinya tapi tak sedikitpun air mata yang terlihat jatuh dari kedua matanya yang bening. ” teu kunanaon, ieu mah tos takdir” itulah kalimat yang sering diucapkannya jika ditanya soal perasaan hatinya. Untuk anak seumurannya beban seperti itu memang terlalu berat untuk ia pikul, tapi pola pikir anak kelas 3 SD ini sudah dewasa sebelum waktunya mungkin karena terlalu banyak cobaan dan masalah yang telah menghantamnya.

Bulan ini adalah bulan yang penuh duka baginya, dalam stu bulan ini ia kehilangan rumah dan nenek satu – satunya, serta untuk pertama kali dalam tahun ini ia berlebaran sebatang kara di tenda – tenda yang didirikan warga didepan puing – puing rumahnya yang roboh. Tapi meski duka kerap menghampirinya namun duka itu tak hadir dalam dirinya, yang ada dalam dirinya hanyalah senyuman yang khas, ringan bagai kapas dan tanpa beban.*





Komentar

Postingan Populer